@hrndrotanoyo |
Sudah bukan hal asing lagi jika budaya dan agama Hindu dan
Buddha sudah ada sejak lama di Indonesia. Bahkan, sudah ada sejak abad ke-5
hingga abad ke-15. Datangnya budaya dan agama Hindu dan Buddha menghasilkan
sebuah akulturasi budaya dengan budaya Indonesia. Maka dari itu, banyak sekali
bangunan bersejarah Indonesia yang bercorak Hindu dan Buddha.
Akulturasi budaya Hindu dan Buddha dengan budaya Indonesia dapat terjadi karena adanya pencampuran budaya tidak menghilangkan budaya asli Indonesia. Bahkan, sampai saat ini banyak sekali ilmuwan dan masyarakat Indonesia yang sangat ingin mengetahui lebih dalam tentang akulturasi budaya ini.
Adanya akulturasi budaya Hindu dan Buddha dengan budaya
Indonesia memberikan pengaruh bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Di bawah ini
akan dijelaskan lebih lanjut tentang pengaruh Hindu dan Buddha dalam kehidupan
masyarakat Indonesia.
Pengaruh Hindu-Buddha bagi Masyarakat Indonesia
Pengaruh Hindu-Buddha dapat kita lihat dari berbagai macam
bangunan, karya, atau bahkan hingga aktivitas yang bisa diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari.
1. Seni Bangunan (Arsitektur)
Catatan sejarah mengatakan bahwa di Indonesia ada banyak
kerajaan zaman dulu yang berlatar belakang Hindu dan Buddha. Maka dari itu, ada
banyak sekali banguna yang dibangun pada zaman itu bercorak Hindu dan Buddha.
Hingga saat ini, beberapa bangunan yang dibangun pada zaman kerajaan
Hindu-Buddha masih bisa kita lihat.
Bangunan-bangunan yang dibangun pada kerajaan Hindu-Buddha
biasanya berbentuk candi Setiap bangunan candi yang memiliki corak Hindu-Buddha
mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Ada bangunan candi yang berfungsi untuk
tempat ibadah, pemakaman, dan ada yang sebagai tempat pemandian suci.
Candi yang berfungsi sebagai makam merupakan candi dengan corak Hindu. Sedangkan candi yang berfungsi sebagai tempat ibadah merupakan candi dengan corak Buddha. Jika dilihat dari bangunan dengan corak Hindu-Buddha ini, maka bisa dikatakan bahwa kerajaan Hindu dan kerajaan Buddha sangat berjaya pada masanya.
Pada dasarnya candi terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu kaki candi, tubuh candi, dan puncak candi. Kaki candi disebut dengan bhurloka yang berarti alam dunia fana. Tubuh candi disebut dengan bhurwaloka yang berarti alam pembersihan jiwa, dan puncak candi disebut dengan swarloka yang berarti alam jiwa suci. Namun, adanya akulturasi budaya membuat bangunan candi disesuaikan dengan kekhasan dari budaya Indonesia.
Ternyata candi yang berada di Jawa Tengah dengan candi
yang berada di Jawa Timur, mempunyai perbedaan, Candi yang ada pada dua wilayah tersebut memiliki
beberapa perbedaan, yaitu:
a. Candi di Jawa Tengah
Pada umumnya candi yang berada di Jawa Tengah memiliki bentuk tambun yang dihiasi dengan kalamakara atau wajah raksasa. Hiasan kalamakara umumnya terletak pada pintu masuk candi. Puncak candi yang ada di Jawa Tengah memiliki ciri khas dengan bentuk stupanya dan bahan utamanya berupa batu andesit. Arah dari candi ini mengarah ke timur.
Candi yang terletak di Jawa Tengah biasanya memiliki bentuknya lebih ramping dan ada hiasan yang lebih sederhana dibandingkan dengan kalamakara di pintu masuk. Jika candi di Jawa Tengah puncak candi berbentuk stupa, maka candi di Jawa Timur berbentuk kubus. Bahan utama dari pembuatan candi di Jawa Timur adalah batu bata. Sementara itu, arah dari candi ini lebih mengarah ke barat.
2. Seni Rupa dan Ukir
Berdasarkan catatan sejarah bahwa masyarakat Indonesia sudah
bisa membuat lukisan atau gambar. Kemampuan itu muncul sebelum adanya pengaruh
dari budaya Hindu-Buddha. Selain itu, lukisan tertua yang ada di Indonesia
terletak di dinding gua di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Bahkan, Dr.
Maxime Aubert dari Griffiths Universitas Australia mengatakan bahwa lukisan
yang berada di Kabupaten Maros sudah berusia lebih dari 38-40 ribu tahun.
Sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha, masyarakat Indonesia sudah memiliki kebiasaan melukis atau menggambar dengan pola yang sangat sederhana. Setelah masuknya pengaruh Hindu-Buddha dalam seni rupa, maka barulah masyarakat Indonesia mengembangkan gambar atau lukisannya dengan motif yang lebih sulit serta dipengaruhi oleh budaya India.
Selain memberikan pengaruh pada seni rupa, Hindu-Buddha juga memberikan pengaruh terhadap seni ukir, patung, relief, dan makara. Bentuk dari seni rupa Hindu-Buddha selalu berkembang pada zamannya, sehingga sangat banyak sekali motif-motifnya.
a. Patung
Seni membuat patung ini semakin berkembang terutama ketika Hindu-Buddha masuk ke Indonesia. Pada masa Hindu, setiap patung yang dibuat diletakkan di candi-candi. Biasanya patung-patung pada zaman ini dibagi menjadi dua bentuk, yaitu trimatra dan setengah trimatra.
b. Relief
c. Makara
Dalam mitologi Hindu-Buddha terdapat makhluk hidup yang bernama Makara. Makara merupakan perwujudan dari seekor binatang laut yang besar dan selalu diidentikkan dengan hiu, buaya, dan lumba-lumba, sehingga sering dijadikan sebagai motif-motif candi.
Adanya motif makara ini, maka bisa dilihat bahwa adanya campuran seni ukir India dengan seni ukir Jawa. Tujuan dibuatnya makara untuk mencegah sifat buruk masuk ke dalam candi dan memberikan tanda bahwa candi ini adalah tempat yang sakral.
3. Seni Pertunjukkan
Masuknya pengaruh Hindu-Buddha bukan hanya dapat dilihat dari corak bangunan saja, tetapi kita bisa melihatnya melalui beberapa seni pertunjukkan. Seni pertunjukkan yang mengalami perkembangan pada zaman Hindu-Buddha, seperti seni wayang, seni tari, dan seni musik.
Sebelum zaman Hindu-Buddha pertunjukkan seni wayang
berfungsi sebagai salah satu bentuk dari upacara pemujaan kepada arwah nenek
moyang yang dikenal dengan sebutan Hyang dan kedatangan wayang merupakan bentuk
dari arwah nenek moyang tersebut.
b. Seni Tari
Sama halnya dengan seni pertunjukkan wayang, seni tari juga sudah ada sebelum zaman Hindu Buddha masuk. Seni pertunjukkan tari biasanya digunakan untuk mengucapkan terima kasih kepada Sang Pencipta karena sudah diberikan hasil panen yang cukup. Selain itu, pada proses pengangkatan kepala suku biasanya menggunakan seni pertunjukkan tari juga.
Seni pertunjukkan yang disebabkan karena pengaruh dari Hindu-Buddha, sampai saat ini kelestariannya tetapi dijaga dengan baik. Dengan melestarikan seni tari ini menandakan bahwa warisan kebudayaan Indonesia tidak akan mudah hilang. Seni pertunjukkan tari dengan pengaruh Hindu-Buddha bisa dilihat di sendratari Ramayana yang diselenggarakan di candi Prambanan pada saat bulan purnama.
c. Seni Musik
Perkembangan seni musik gamelan ini semakin pesat terutama ketika masuknya Hindu-Buddha ke Indonesia. Informasi tentang seni musik gamelan ini bisa ditemukan pada relief-relief candi, kitab-kitab, dan karya sastra.
4. Seni Sastra dan Aksara
Pada zaman Hindu-Buddha sering dikenal sebagai awal mula munculnya aksara di Indonesia. Aksara tertua yang ada di Indonesia ditemukan di Kutai, Kalimantan Timur dan terletak pada batu prasasti Yupa. Prasasti Yupa ditulis dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta.
Pada awal kemunculan aksara Pallawa digunakan untuk menulis suatu hal di batu prasasti dan di karya sastra. Setelah mengalami berbagai macam perkembangan, maka aksara Pallawa mengalami perkembangan menjadi aksara Hacaraka. Aksara Hanacaraka digunakan untuk menulis aksara Jawa dan Bali.
Dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta yang sering digunakan, maka membuat masyarakat tergerak untuk mengembangkan sastra-sastra di daerah. Secara garis besar, setiap karya sastra pada zaman Hindu-Buddha sangat terpengaruh dengan karya sastra Ramayana dan Mahabharata dari India.
Cerita yang berasal dari India dipadupadankan dengan budaya Indonesia, sehingga mengasilkan cerita yang bermakna dan tentunya menarik untuk dibaca. Karya sastra pada zama Hindu-Buddha biasanya berupa kitab yang disusun oleh Mpu Panuluh dan Mpu Sedah dengan judul Bharatayudha
5. Sistem Kepercayaan
Sistem kepercayaan yang ada pada zaman Hindu-Buddha memiliki tiga unsur yang sangat penting. Pertama, Pada masa praaksara suatu sistem kepercayaan bersumber dari kelompok masyarakat atau kepala suku yang ditandai dengan adanya sebuah ritual. Ritual-ritual ini dipercaya sebagai bentuk penghormatan kepada dewa-dewa.
Ketiga, pada zaman Hindu-Buddha pemimpin agama selalu mendapatkan tempat terpandang di lingkungan masyarakat. Selain itu, pemimpin agama sangat dihormati oleh masyarakat.
6. Sistem Sosial Kemasyarakatan
Pada sistem sosial kemasyarakatan Hindu-Buddha peran dan fungsi sosial anggota masyarakat dikelompokkan berdasarkan tingkat derajatnya.
Pada tingkatan ini, seseorang akan memiliki peran untuk menjadi penasihat raja dan pendidik agama.
Pada tingkatan ini, seseorang akan menjadi penyelenggara dan penata sistem pemerintahan yang bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan kerajaan. Kesatri juga berperan sebagai pembela kerajaan, seperti pembantu raja dan tentara.
Pada tingkatan ini, seseorang dikategorikan sebagai masyarakat biasa yang memiliki profesi, seperti pedagang, petani, nelayan, dan pelaku seni.
d. Sudra
Pada tingkatan ini, seseorang sudah dikategorikan sebagai masyarakat yang memiliki derajat paling rendah. Biasaya seseorang yang mendapatkan tingkatan sudra, seperti pekerja rendah, buruh, budak, dan pembantu.
Sebelum masuknya Hindu-Buddha, masyarakat Indonesia menganut sistem pemerintahan berupa pemimpin suatu kelompok atau kepala suku. Pada sistem pemerintahan kepala suku, setiap pemimpin yang dipilih berdasarkan siapa yang paling berpengaruh pada kelompok tersebut.
Namun, setelah masuknya Hindu-Buddha sistem pemerintahan kesukuan berubah menjadi sistem kerajaan. Pemimpin dari suatu kelompok masyarakat berada di tangan seorang raja. Seorang raja mempunyai hak untuk mewariskan tahtanya secara turun-temurun.
Pada sistem kerajaan ini, para dukun diangkat menjadi penasihat dan memiliki gelar brahmana serta posisinya berada di bawah raja. Sementara itu, kedudukan rakyat tetap sebagai waisya dan para budak tetap berada di posisinya yaitu sebagai sudra.
8. Sistem Kalender
Pada zaman praaksara, masyarakat selalu menghitung hari menggunakan ilmu astronomi. Ilmu astronomi dipercaya dapat menentukan arah mata angin terutama saat melakukan pelayaran. Bahkan, dalam menentukan waktu panen juga menggunakan ilmu astronomi.
Akan tetapi, masuknya Hindu-Buddha ke Indonesia memberikan pengaruh terhadap masyarakat Indonesia berupa perhitungan waktu berdasarkan penanggalan tahun Saka. Kalender tahun Saka memiliki jumlah hari yang terdiri atas 365 hari. Sedangkan tahun Saka dengan tahun Masehi memiliki selisih tahun, yaitu 78 tahun.
Jalur Masuk Hindu-Buddha
Pengaruh Hindu-Buddha masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan dan dibawa oleh pedagang dan pendeta yang berasal dari India dan Tiongkok. Masuknya pengaruh Hindu-Buddha melalui dua jenis jalur perdagangan yaitu jalur darat dan jalur laut
1. Jalur Darat
Jalur darat menjadi jalur dibawanya Hindu-Buddha ke Indonesia, sehingga ketika di Indonesia terjadi akulturasi budaya. Jalur darat ini dibuat oleh para pedagang melalui rute jalur sutra. Rute jalur ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu rute jalur sutra utara dan rute jalur sutra selatan.
Rute jalur sutra utara dimulai dari India menuju ke Tibet, kemudian mengarah ke utara hingga sampai di Tiongkok, Korea, dan Jepang.
Sementara itu, rute jalur sutra dimulai dari India Utara menuju ke Bangladesh, kemudian mengarah ke Myanmar, Thailand, Semenanjung Malaya, dan mengarah ke Indonesia.
Selain lewat jalur darat, penyebaran Hindu-Buddha melalui jalur laut. Jalur laut ini sangat identik dengan rombongan kapal pedagang dan biasanya rute perjalanan jalur laut dimulai dari India, kemudian ke Myanmar, Thailand, Semenanjung Malaya, dan pemberhentian terakhir di wilayah Indonesia.