Senin, 13 April 2020

KEBUDAYAAN JAWA


KEBUDAYAAN JAWA
@hendrotanoyo
            Indonesia dikenal dengan kekayaan budayanya sebagai negara besar dengan 17.548 pulau, dengan lebih dari 250 suku. Suku Bangsa yang terbesar di Indonesia adalah Suku Jawa. Kebudayaan sebagai tradisi, kepercayaan, perilaku dan benda-benda yang dipergunakan masyarakat. Kebudayaan masyarakat adalah apa yang memisahkan cara hidup manusia sejak dua orang berjalan pada permukaan bumi. Dilihat dari demografinya, suku Jawa mendiami wilayah tengah dan timur Pulau Jawa. Sebagai sebuah suku yang besar, tentu saja Suku Jawa juga memiliki kebudayaan yang besar, digunakan turun-temurun, dan masih ditemukan hingga sekarang. Kebudayaan Jawa adalah salah satu kebudayaan di Asia yang paling kuno dan identik akan tradisi, perilaku, dan peralatan kuno. Kekayaan ini cukup nyata dari sejarah kebudayaan jawa yang berjalan terus menerus selama lebih dari seribu tahun di daerah-daerah tertentu di pulau jawa. Kebudayaan Jawa itu berasal dari beraneka ragam tradisi, kepercayaan dan cara hidup

          

            Kebudayaan Jawa sebagai salah satu wujud penghayatan orang Jawa dan pengungkapan penafsiran mereka atas realitas. Kebudayaan Jawa bersifat konstruktif, teoritis, dan filosofis. Nilai-nilai hidup adalah wujud abstrak kebudayaan yang menjadi pedoman bagi perilaku manusia. budaya Jawa pada umumnya mengutamakan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian dalam kehidupan sehari-hari.
Budaya Jawa juga menjujung tinggi etika sopan santun, kesopanan, dan kesederhanaan. Kaitan antara nilai dengan sikap hidup disebut dengan mentalitas. Misalnya sabar, rela (dalam bahasa jawa disebut dengan legowo), dan nrima  (menerima atau terbuka), andhap asor (rendah hati), tlaten (tekun). Setiap orang Jawa dengan sendirinya akan menerapkan etika sopan santun yang telah diajarkan oleh orang tuanya sejak ia masih kecil.
            Selain itu, ada konsep kuno dari masyarakat jawa yang mengatakan bahwa ada roh-roh dimana-mana. Akibatnya harus waspada dalam segala hal supaya jangan membuat mereka marah tetapi, membuat mereka tenang. Dari konsep religi ini, muncul struktur.  Hal ini bertujuan untuk menangani situasi dan bagaimana tinggal dalam dunia yang diciptakan seperti ini.
Salah satu contohnya yakni “selametan”. Selametan (selamatan) adalah tradisi lama dimana anggota masyarakat berkumpul setelah seorang menikah, meninggal atau masa waktu yag lain terjadi untuk makan bersama dan berdoa pada roh-roh. Saya memiliki cerita berkaitan dengan selametan ini.
Ketika saya memiliki motor yang belum di selameti, motor saya selalu bermasalah mulai dari ban meletus, mogok atau mesin tidak bisa menyala. Setelah sepeda saya dijual dan ganti yang baru saya menggelar selametan dan akhirnya hingga saat ini sepeda saya yang baru tidak ada masalah apapun. Percaya atau tidak saya melakukan hal ini karena saya adalah orang jawa yang ingin menghidupi kebudayaan jawa.
Gagasan selametan dapat diartikan sebagai selamat di dunia dan di dunia lain. Selametan sering kali digelar untuk meminta perlindungan kepada roh-roh di dunia lain agar mereka tidak mengganggu orang. Mereka juga permisi kepada roh-roh tersebut agar mereka di ijinkan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan permintaan mereka.
           
            Kebudayaan Jawa yang turun temurun diwariskan hingga sekarang diantaranya adalah :

            1. Bahasa
            Suku Jawa memiliki bahasa daerah yang disebut dengan Bahasa Jawa. Sebagian besar masyarakat Jawa pada umumnya lebih banyak menggunakan Bahasa Jawa ini daripada menggunakan bahasa nasional, Bahasa Indonesia, untuk berbicara. Bahasa Jawa memiliki aturan yang berbeda dalam hal intonasi dan kosakata dengan memandang siapa yang berbicara dan siapa lawan bicaranya. Hal ini biasa disebut dengan istilah Bahasa “Kromo Inggil, Kromo Ngoko, dll” atau unggah-ungguh.

            Aturan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa dan secara tidak langsung mampu membentuk kesadaran yang kuat akan status sosialnya di tengah masyarakat. Sebagai contoh, di manapun seseorang dari Suku Jawa berada, dia akan tetap hormat kepada yang lebih tua walaupun dia tidak mengenalnya. Unggah-ungguh semacam inilah yang pertama kali dibentuk Suku Jawa melalui keteladanan bahasa.

            2. Kepercayaan
            Dahulunya, masyarakat Suku Jawa sebagian besar memeluk agama Hindu, Budha, dan Kejawen sebagai pegangan. Berbeda dengan yang sekarang, sebagian besar masyarakat Jawa memeluk agama Islam dan sebagian kecil menganut agama Kristen dan Khatolik. Meskipun demikian, budaya masa lalu masyarakat Jawa tidak utuh ditinggalkan begitu saja karena kepercayaan Kejawen, yang merupakan kepercayaan yang dihasilkan dari budaya Jawa, tetap masih ada yang menjalankan.
            Kepercayaan kejawen berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap dan juga filosofi orang-orang Jawa. Biasanya kepercayaan ini begitu kuat dipegang oleh orang-orang yang sudah berusia tua dan umumnya generasi di bawahnya sudah tidak banyak lagi yang mengikutinya. Meski berbeda pandangan, hal ini ternyata tidak menimbulkan pergesekan antara yang tua maupun yang muda, bahkan kaum yang muda cenderung menghormati yang tua untuk masalah ini.

            3. Filosofi
            Orang Jawa juga dikenal lekat dengan filosofi kehidupan (titen, Niteni), terutama dengan apa yang diajarkan oleh Sunan Kalijogo. Dalam kegiatannya berdakwah, seringkali Sunan Kalijogo menggunakan pendekatan tradisi sehingga banyak orang Jawa yang mengikuti ajarannya. Misalkan saja, lagu Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul merupakan karya beliau yang sampai saat ini masih diperdengarkan turun-temurun.

            Sunan Kalijogo juga meninggalkan filosofi hidup yang termuat dalam Dasa Pitutur yang masih dijalankan sampai sekarang. Isinya di antaranya adalah urip iku urup, memayu hayuning bawana ambrasta dur hangkara, sura dira jaya jayaningrat lebur dening pangastuti, ngluruk tanpa bala menang tanpa ngasorake sekti tanpa aji-aji sugih tanpa bandha, dan sebagainya.

            4. Kesenian
            Dalam bidang seni budaya, masyarakat Suku Jawa bisa dibilang memiliki kekayaan seni yang beragam. Setidaknya seni tradisional ini dibagi menjadi 3 kelompok menurut akar budayanya, yakni Banyumasan (Ebeg), Jawa Tengah dan Jawa Timur (Kethoprak, Wayang, Ludruk dan Reog).
Untuk seni musik, masyarakat Jawa memiliki Langgam Jawa yang merupakan adaptasi musik keoncong ke dalam musik tradisional Jawa, khususnya Gamelan.
            Selain itu, Suku Jawa memiliki ragam seni tari dari berbagai daerah, yakni Tari Bambangan Cakil dari Jawa Tengah, Tari Angguk dari Yogyakarta, Tari Ebeg dari Banyumas, Tari Gandrung dari Banyuwangi, Tari Kridhajati dari Jepara, Tari Kuda Lumping dari Jawa Tengah, Tari Reog dari Ponorogo, Tari Remo dari Jawa Timur, Tari Emprak dari Jawa Tengah, Tari Golek Menak dari Yogyakarta, dan Tari Sintren dari Jawa Tengah.

            5. Kalender
            Salah satu kekayaan budaya Jawa yang tidak dimiliki oleh suku lain adalah Kalender Jawa. Kalender ini merupakan penanggalan yang digunakan oleh Kesultanan Mataram. Ketika Islam mulai berkembang di tanah Jawa, Sultan Agung memutuskan untuk meninggalkan Kalender Saka dan menggantinya dengan Kalender Hijriah dengan penyesuaian budaya Jawa. Kalender Jawa dibuat dengan perpaduan antara budaya Islam, budaya Hindu-Budha, dan budaya Eropa.
            Dalam kalender sistem Jawa, siklus harian yang dipakai ada dua macam, yakni siklus mingguan yang terdiri dari 7 hari seperti yang kita kenal sekarang (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu, dan Minggu) serta siklus minggu pancawara yang terdiri dari 5 hari pasaran (Manis, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon). Untuk hitungan bulan, Kalender Jawa juga memiliki 12 bulan, yakni Sura, Supar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal, Jumadilakir, Rajab, Ruwah, Pasa, Sawal, Sela, dan Besar.

            6. Hitungan Jawa
            Masyarakat tradisional Jawa juga memiliki sistem perhitungan untuk membuat keputusan-keputusan penting. Sistem perhitungan ini biasa disebut dengan Neptu, meliputi angka perhitungan hari, hari pasaran, bulan, dan tahun Jawa. Setiap hari, hari pasar, bulan, dan tahun memiliki nilai yang berbeda-beda. Dari nilai perhitungan total itulah nantinya akan diketahui baik-buruknya keputusan yang akan diambil.

            Perhitungan ini juga bisa didasarkan pada susunan Aksara Jawa  ( ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa dha ja ya nya, ma ga ba tha nga ). Setiap aksara memiliki nilai yang berbeda-beda, misalkan ha, da, pa, ma masing-masing nilainya 1 dan huruf na, ta, dha, ga masing-masing nilainya 2, begitu juga seterusnya.
Dari total perhitungan tersbut nantinya akan dicocokkan dengan 5 unsur, yakni Sri, Lungguh, Gedhong, Loro dan Pari. Unsur Sri, Lungguh dan Gedhong merupakan unsur positif, sedangkan Loro dan Pati adalah unsur negatif yang biasanya akan dihindari oleh orang Jawa.

            Walaupun mereka telah jauh merantau di luar Pulau Jawa, kebudayaan Jawa tidaklah dilupakan. Sebagai masyarakat Jawa dan Indonesia semua orang dapat belajar dari kebudayaan Jawa yang harus di hidupi sebagai warisan leluhur Indonesia
            Nah, itulah kebudayaan Suku Jawa yang masih diwariskan secara turun-temurun hingga bisa kita temui sampai sekarang. Meski masih ada, bukan tidak mungkin dengan derasnya era modernisasi kebudayaan Jawa ini bisa tergerus. Oleh karena itu, peran generasi mudanya lah yang akan menentukan bagaimana kelestarian kebudayaan ini nantinya

@hendrotanoyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar