KEBUDAYAAN
JAWA
Indonesia
dikenal dengan kekayaan budayanya sebagai negara besar dengan 17.548 pulau,
dengan lebih dari 250 suku. Suku Bangsa yang terbesar di Indonesia adalah Suku
Jawa. Kebudayaan sebagai tradisi, kepercayaan, perilaku dan benda-benda yang
dipergunakan masyarakat. Kebudayaan masyarakat adalah apa yang memisahkan cara
hidup manusia sejak dua orang berjalan pada permukaan bumi. Dilihat dari
demografinya, suku Jawa mendiami wilayah tengah dan timur Pulau Jawa. Sebagai
sebuah suku yang besar, tentu saja Suku Jawa juga memiliki kebudayaan yang
besar, digunakan turun-temurun, dan masih ditemukan hingga sekarang. Kebudayaan Jawa adalah
salah satu kebudayaan di Asia yang paling kuno dan identik akan tradisi,
perilaku, dan peralatan kuno. Kekayaan ini cukup nyata dari sejarah kebudayaan
jawa yang berjalan terus menerus selama lebih dari seribu tahun di
daerah-daerah tertentu di pulau jawa. Kebudayaan Jawa itu berasal dari beraneka
ragam tradisi, kepercayaan dan cara hidup
Kebudayaan Jawa sebagai salah satu
wujud penghayatan orang Jawa dan pengungkapan penafsiran mereka atas realitas.
Kebudayaan Jawa bersifat konstruktif, teoritis, dan filosofis. Nilai-nilai
hidup adalah wujud abstrak kebudayaan yang menjadi pedoman bagi perilaku
manusia. budaya Jawa pada umumnya mengutamakan keseimbangan, keselarasan, dan
keserasian dalam kehidupan sehari-hari.
Budaya Jawa
juga menjujung tinggi etika sopan santun, kesopanan, dan kesederhanaan. Kaitan
antara nilai dengan sikap hidup disebut dengan mentalitas. Misalnya sabar, rela
(dalam bahasa jawa disebut dengan legowo), dan nrima (menerima atau terbuka), andhap asor (rendah hati), tlaten
(tekun). Setiap orang Jawa dengan sendirinya akan menerapkan etika sopan santun
yang telah diajarkan oleh orang tuanya sejak ia masih kecil.
Selain itu, ada konsep kuno dari
masyarakat jawa yang mengatakan bahwa ada roh-roh dimana-mana. Akibatnya harus
waspada dalam segala hal supaya jangan membuat mereka marah tetapi, membuat
mereka tenang. Dari konsep religi ini, muncul struktur. Hal ini
bertujuan untuk menangani situasi dan bagaimana tinggal dalam dunia yang
diciptakan seperti ini.
Salah satu
contohnya yakni “selametan”. Selametan (selamatan) adalah tradisi
lama dimana anggota masyarakat berkumpul setelah seorang menikah, meninggal
atau masa waktu yag lain terjadi untuk makan bersama dan berdoa pada roh-roh.
Saya memiliki cerita berkaitan dengan selametan ini.
Ketika saya
memiliki motor yang belum di selameti, motor saya selalu bermasalah mulai dari
ban meletus, mogok atau mesin tidak bisa menyala. Setelah sepeda saya dijual
dan ganti yang baru saya menggelar selametan
dan akhirnya hingga saat ini sepeda saya yang baru tidak ada masalah apapun.
Percaya atau tidak saya melakukan hal ini karena saya adalah orang jawa yang
ingin menghidupi kebudayaan jawa.
Gagasan
selametan dapat diartikan sebagai selamat di dunia dan di dunia lain. Selametan
sering kali digelar untuk meminta perlindungan kepada roh-roh di dunia lain
agar mereka tidak mengganggu orang. Mereka juga permisi kepada roh-roh tersebut
agar mereka di ijinkan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan permintaan mereka.
Kebudayaan
Jawa yang turun temurun diwariskan hingga sekarang diantaranya adalah :
1. Bahasa
Suku
Jawa memiliki bahasa daerah yang disebut dengan Bahasa Jawa. Sebagian besar
masyarakat Jawa pada umumnya lebih banyak menggunakan Bahasa Jawa ini daripada
menggunakan bahasa nasional, Bahasa Indonesia, untuk berbicara. Bahasa Jawa
memiliki aturan yang berbeda dalam hal intonasi dan kosakata dengan memandang
siapa yang berbicara dan siapa lawan bicaranya. Hal ini biasa disebut dengan
istilah Bahasa “Kromo Inggil, Kromo Ngoko, dll” atau unggah-ungguh.
Aturan
ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa dan secara tidak
langsung mampu membentuk kesadaran yang kuat akan status sosialnya di tengah
masyarakat. Sebagai contoh, di manapun seseorang dari Suku Jawa berada, dia akan
tetap hormat kepada yang lebih tua walaupun dia tidak mengenalnya.
Unggah-ungguh semacam inilah yang pertama kali dibentuk Suku Jawa melalui
keteladanan bahasa.
2. Kepercayaan
Dahulunya,
masyarakat Suku Jawa sebagian besar memeluk agama Hindu, Budha, dan Kejawen
sebagai pegangan. Berbeda dengan yang sekarang, sebagian besar masyarakat Jawa
memeluk agama Islam dan sebagian kecil menganut agama Kristen dan Khatolik.
Meskipun demikian, budaya masa lalu masyarakat Jawa tidak utuh ditinggalkan
begitu saja karena kepercayaan Kejawen, yang merupakan kepercayaan yang
dihasilkan dari budaya Jawa, tetap masih ada yang menjalankan.
Kepercayaan
kejawen berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap dan juga
filosofi orang-orang Jawa. Biasanya kepercayaan ini begitu kuat dipegang oleh
orang-orang yang sudah berusia tua dan umumnya generasi di bawahnya sudah tidak
banyak lagi yang mengikutinya. Meski berbeda pandangan, hal ini ternyata tidak
menimbulkan pergesekan antara yang tua maupun yang muda, bahkan kaum yang muda
cenderung menghormati yang tua untuk masalah ini.
3. Filosofi
Orang
Jawa juga dikenal lekat dengan filosofi kehidupan (titen, Niteni), terutama
dengan apa yang diajarkan oleh Sunan Kalijogo. Dalam kegiatannya berdakwah,
seringkali Sunan Kalijogo menggunakan pendekatan tradisi sehingga banyak orang
Jawa yang mengikuti ajarannya. Misalkan saja, lagu Ilir-ilir dan Gundul-gundul
Pacul merupakan karya beliau yang sampai saat ini masih diperdengarkan
turun-temurun.
Sunan
Kalijogo juga meninggalkan filosofi hidup yang termuat dalam Dasa Pitutur yang
masih dijalankan sampai sekarang. Isinya di antaranya adalah urip iku urup,
memayu hayuning bawana ambrasta dur hangkara, sura dira jaya jayaningrat lebur
dening pangastuti, ngluruk tanpa bala menang tanpa ngasorake sekti tanpa
aji-aji sugih tanpa bandha, dan sebagainya.
4. Kesenian
Dalam
bidang seni budaya, masyarakat Suku Jawa bisa dibilang memiliki kekayaan seni
yang beragam. Setidaknya seni tradisional ini dibagi menjadi 3 kelompok menurut
akar budayanya, yakni Banyumasan (Ebeg), Jawa Tengah dan Jawa Timur (Kethoprak,
Wayang, Ludruk dan Reog).
Untuk seni musik, masyarakat Jawa
memiliki Langgam Jawa yang merupakan adaptasi musik keoncong ke dalam musik
tradisional Jawa, khususnya Gamelan.
Selain
itu, Suku Jawa memiliki ragam seni tari dari berbagai daerah, yakni Tari
Bambangan Cakil dari Jawa Tengah, Tari Angguk dari Yogyakarta, Tari Ebeg dari
Banyumas, Tari Gandrung dari Banyuwangi, Tari Kridhajati dari Jepara, Tari Kuda
Lumping dari Jawa Tengah, Tari Reog dari Ponorogo, Tari Remo dari Jawa Timur,
Tari Emprak dari Jawa Tengah, Tari Golek Menak dari Yogyakarta, dan Tari
Sintren dari Jawa Tengah.
5. Kalender
Salah
satu kekayaan budaya Jawa yang tidak dimiliki oleh suku lain adalah Kalender
Jawa. Kalender ini merupakan penanggalan yang digunakan oleh Kesultanan
Mataram. Ketika Islam mulai berkembang di tanah Jawa, Sultan Agung memutuskan
untuk meninggalkan Kalender Saka dan menggantinya dengan Kalender Hijriah
dengan penyesuaian budaya Jawa. Kalender Jawa dibuat dengan perpaduan antara
budaya Islam, budaya Hindu-Budha, dan budaya Eropa.
Dalam
kalender sistem Jawa, siklus harian yang dipakai ada dua macam, yakni siklus
mingguan yang terdiri dari 7 hari seperti yang kita kenal sekarang (Senin,
Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu, dan Minggu) serta siklus minggu pancawara
yang terdiri dari 5 hari pasaran (Manis, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon). Untuk
hitungan bulan, Kalender Jawa juga memiliki 12 bulan, yakni Sura, Supar, Mulud,
Bakda Mulud, Jumadilawal, Jumadilakir, Rajab, Ruwah, Pasa, Sawal, Sela, dan
Besar.
6. Hitungan Jawa
Masyarakat
tradisional Jawa juga memiliki sistem perhitungan untuk membuat
keputusan-keputusan penting. Sistem perhitungan ini biasa disebut dengan Neptu,
meliputi angka perhitungan hari, hari pasaran, bulan, dan tahun Jawa. Setiap
hari, hari pasar, bulan, dan tahun memiliki nilai yang berbeda-beda. Dari nilai
perhitungan total itulah nantinya akan diketahui baik-buruknya keputusan yang
akan diambil.
Perhitungan
ini juga bisa didasarkan pada susunan Aksara Jawa ( ha na
ca ra ka, da ta sa wa la, pa dha ja ya nya, ma ga ba tha nga ). Setiap
aksara memiliki nilai yang berbeda-beda, misalkan ha, da, pa, ma masing-masing nilainya 1 dan huruf na, ta, dha, ga masing-masing nilainya 2,
begitu juga seterusnya.
Dari total perhitungan tersbut
nantinya akan dicocokkan dengan 5 unsur, yakni Sri, Lungguh, Gedhong, Loro dan
Pari. Unsur Sri, Lungguh dan Gedhong merupakan unsur positif, sedangkan Loro
dan Pati adalah unsur negatif yang biasanya akan dihindari oleh orang Jawa.
Walaupun mereka telah jauh merantau di
luar Pulau Jawa, kebudayaan Jawa tidaklah dilupakan. Sebagai masyarakat Jawa
dan Indonesia semua orang dapat belajar dari kebudayaan Jawa yang harus di
hidupi sebagai warisan leluhur Indonesia
Nah,
itulah kebudayaan Suku Jawa yang masih diwariskan secara turun-temurun hingga
bisa kita temui sampai sekarang. Meski masih ada, bukan tidak mungkin dengan
derasnya era modernisasi kebudayaan Jawa ini bisa tergerus. Oleh karena itu,
peran generasi mudanya lah yang akan menentukan bagaimana kelestarian
kebudayaan ini nantinya
@hendrotanoyo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar